Minggu, 15 Desember 2013

Kelas Menengah dan Geliat Sektor Konsumsi

Oleh Nadia Kusuma Dewi | Kamis, 5 Desember 2013 | 0:59

Lembaga riset AC Nielsen memperkirakan, masyarakat kelas menengah di Asia Tenggara akan tumbuh 110,5% dari 190 juta orang pada 2012 menjadi 400 juta orang pada 2020 dengan Indonesia sebagai kontributor pertumbuhan tertinggi.

Pertumbuhan masyarakat kelas menengah Indonesia dalam kurun 2012-2020 diperkirakan mencapai 174%. Hasil survei AC Nielsen menunjukkan 48% dari total belanja fast moving consumer goods (FMCG) berasal dari masyarakat kelas menengah. Sejalan dengan Nielsen, survei konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan indeks keyakinan konsumen (IKK) Indonesia periode Oktober 2013 mulai menguat ke level 109,5 setelah mengalami tren perlambatan selama tiga bulan terakhir pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Juni 2013 lalu.

IKK Indonesia pada Juli 2013 berada pada level 108,4, turun cukup signifikan dibandingkan posisi bulan sebelumnya sebesar 117,1. Hal tersebut mengindikasikan adanya perlambatan pertumbuhan permintaan dari sisi rumah tangga. Namun demikian, IKK tersebut masih berada pada level optimistis.

Sementara itu, survei penjualan eceran yang dilakukan BI juga menunjukkan indeks penjualan riil Oktober 2013 diperkirakan mulai naik kembali setelah dua bulan sebelumnya mengalami penurunan. Meskipun mengalami penurunan, indeks penjualan riil Agustus dan September 2013 masih lebih tinggi dibandingkan posisi Agustus dan September 2012.

Dari ketiga survei tersebut di atas tampak terlihat dengan jelas adanya kaitan erat antara jumlah kelas menengah di Indonesia yang terus tumbuh dan meningkatnya sektor konsumsi. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan, pada 2013 ini, omzet ritel modern diperkirakan tumbuh 10% - 11%, dengan total penjualan mencapai Rp150 triliun. Pertumbuhan sektor ritel pada 2014 diperkirakan meningkat dari tahun ini sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik yang lebih baik.

Faktor lain yang diperkirakan banyak mendorong permintaan sektor ritel adalah adanya agenda nasional, yaitu hajatan Pemilu 2014. Pemilu akan memberikan dampak positif terhadap consumer spending seiring dengan meningkatnya perputaran uang masa itu. Dalam hal ini, konsumsi masyarakat cenderung meningkat sejak kuartal pertama di tahun dan sepanjang periode Pemilu 2014, kemudian melambat di kuartal berikutnya.

Tujuan Investasi Ritel AT Kearney’s Global Retail Development Index (GRDI) menempatkan Indonesia pada peringkat 19 negara berkembang untuk tujuan investasi ritel. Negara-negara Asia yang masuk dalam Top 30 GRDI, antara lain, Tiongkok (4), Malaysia (13), dan India (peringkat 14).

Menyadari besarnya potensi pasar ritel Indonesia, banyak pemain asing yang tertarik masuk dalam bisnis ini. Beberapa peritel asing yang cukup agresif berekspansi, yakni Carrefour (Prancis), Giant (Malaysia), Lotte (Korea Selatan), 7-Eleven (AS), Circle K (AS), dan Sogo (Jepang). Peritel asing diperkirakan masih akan terus membanjiri pasar Indonesia jika melihat proyeksi pertumbuhan kelas menengah dan daya beli konsumen lokal yang terus meningkat.

Dilihat dari sisi pasar modal, consumer sector juga masih dipandang menarik bagi para investor. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan indeks harga saham gabungan (IHSG) sektoral sepanjang tahun ini yang mencatat sektor industri barang konsumsi adalah yang paling tinggi di antara sektor-sektor lainnya. Per akhir November 2013, indeks harga saham sektoral untuk sektor industri barang konsumsi tumbuh sebesar 12,3% year to date (YTD), sementara IHSG malah turun 1,4%YTD.

Pertumbuhan ritel modern terutama terjadi pada format minimarket, convenience store, dan hypermarket. Shareperdagangan FMCG minimarket mengalami kenaikan tertinggi, yaitu dari 5% pada 2002 menjadi 21% pada 2011. Format minimarket, termasuk convenience store, mengalami perkembangan yang sangat pesat, didorong oleh ekspansi usaha Alfamart dan Indomaret yang menguasai sekitar 88% pangsa pasar pada format ini.

Menurut proyeksi Euromonitor, penjualan minimarket diperkirakan tumbuh rata-rata 16% per tahun pada 2013-2015. Penjualan hypermarket diperkirakan tumbuh rata-rata 15% per tahun pada 2013-2015. Carrefour masih mendominasi pasar hypermarket meskipun pangsanya mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir, diambil oleh Hypermartdan Giant. Penjualan department store diperkirakan juga tumbuh rata-rata 15% per tahun pada 2013-2015.

Sementara itu, pangsa pasar supermarket dalam format ritel modern terus mengalami penurunan, dipengaruhi oleh beralihnya preferensi konsumen ke format ritel modern lainnya, terutama minimarket/convenience store danhypermarket.

Rencana ekspansi beberapa perusahaan ritel modern tahun 2013 cukup pesat. Hal tersebut menyebabkan persaingan usaha yang semakin ketat, baik dalam suatu format ritel maupun antarformat ritel. Persaingan juga dapat menyebabkan munculnya fenomena kanibalisme dalam industri ritel. Ekspansi dan persaingan paling ketat diperkirakan terjadi pada format minimarket. Tantangan Pasar Ritel Meskipun potensi pasar ritel masih menjanjikan, tantangan yang dihadapi sektor ini juga semakin besar.

Selain dari sisi persaingan, biaya operasional yang dihadapi peritel meningkat. Regulasi pemerintah, baik pusat maupun daerah juga semakin ketat. Biaya tenaga kerja, sewa gedung, dan listrik merupakan porsi terbesar dalam struktur biaya operasional peritel (60%-80%), dengan biaya tenaga kerja berkontribusi sekitar 30%-40% sendiri. Tarif sewa ruang ritel di kota besar seperti Jakarta mengalami kenaikan cukup signifikan pada 2013.

Demikian juga dengan service charge ruang ritel, terkait kenaikan tarif dasar listrik dan UMP. Sementara itu, persaingan yang ketat seringkali juga mendorong naiknya biaya iklan dan promosi. Untuk peritel yang menjual produk dengan import content tinggi, fluktuasi rupiah menjadi concern mengingat rupiah memang tertekan tahun ini.

Tantangan lain yakni terkait regulasi. Pada 2012 lalu, Kementerian Perdagangan merilis revisi aturan penyelenggaraan waralaba melalui Permendag No 68/M-DAG/PER/ 10/2012 tentang waralaba untuk jenis usaha toko modern. Dalam regulasi ini, pemberi waralaba dan penerima waralaba untuk jenis usaha toko modern dapat mendirikan gerai yang dimiliki dan dikelola sendiri paling banyak 150 gerai.

Para pelaku usaha dapat memahami spirit positif kebijakan tersebut. Namun demikian, beberapa pihak masih melihat adanya celah ketidakpastian yang berpotensi memengaruhi implementasi kebijakan ini di lapangan. Sebut saja, misalnya, indikasi belum terbentuknya tim penilai yang akan menentukan apakah suatu perusahaan dapat dikecualikan dari peraturan tersebut.


Nadia Kusuma Dewi
Analis industri PT Bank Mandiri
(Persero) Tbk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar